Rabu, 27 Oktober 2010

naskah drama patung dan ayam


PATUNG DAN AYAM

Karya : Sarjang


PROLOG
Saudara–saudara, dunia selalu melahirkan pahlawan walaupun saat pahlawan itu hidup tindak–tanduknya tidak sebersih perilaku yang digambarkan dalam dongeng yang kita dengar atau kita baca, namun setidaknya mereka telah berbuat sesuatu yang memberikan perubahan pada generasi setelahnya.
Namun sayangnya banyak manusia yang memanfaatkan kemashuran seorang pahlawan demi kepentingan mereka sendiri. Nama baik pahlawan sering dipakai untuk memenuhi hasrat sendiri.  Lalu apa jadinya kalau sudah begini? Selalu ada celah dalam memetik hikmah dari semua kejadian yang bertebaran didepan mata kita selalu ada sesuatu yang bisa kita ambil sebagai bahan pelajaran dari setiap kisah hidup yang muncul dipucuk hidung kita.
Maka dari itu saudaraku seburuk apapun kehidupan tetaplah sebuah kehidupan, sesakit apapun pengalaman tetaplah sebuah pengalaman. bukalah pandang mata dan lihat dari sudut yang berbeda, mungkin dari sisi lain kita menemukan kebaikan, atau setidaknya memberikan sedikit harapan.
Karena hidup adalah harapan kalau anda takut untuk berharap berarti anda takut hidup. Orang yang takut hidup takkan berani menghadap kematian. Percayalah!

Para Pelaku :
Patung
Kades Eha
Mak Eom
Sekdes
Ulis
Hansip
Pesuruh Bupati
Tasem
Pembaca prolog
Ayam
MUSIK

KADES EHA    : ( Termenung memandang patung pahlawan yang berdiri ditengah panggung, sesekali kades eha membersihkan sisa debu semen dari kaki patung.) “ Tiga juta lebih uangku, uang pribadi, uang sendiri, masuk kemari.”
( Kades Eha berjalan mengelilingi patung ) “ katanya… seratus dua puluh juta, anggaran untuk membuat patung ini. Honor dan makan para pematung, kontraktor, pengawas dan buat orang–orang yang berdatangan. Seratus dua puluh juta. Seratus dua puluh juta untuk semen, batu, bambu, kayu, batubata, besi beton, bir, kambing, ayam, janda, seratus dua puluh juta, seratus dua puluh juta! “
( Kades Eha berhenti berjalan, menatap lekat pada patung, bertolak pinggang penuh amarah ).“ Tiga juta lebih kau menggasak uangku. Batok kepalaku hampir pecah mengurusi pembangunanmu. Kau membuatku berutang pada warga desa. Kau membuatku jadi perampok! Tiga juta! Itu yang bentuknya uang! Kau juga memakan yang lainnya, kau makan hartanya si Adeng, si Soma juga Mak Eom. Dari mulai kelapa, minyak tanah, pisang, pepaya, jagung, tak ada yang tersisa! semuanya kau makan! kau juga memakan otakku!
( Kades Eha diam menarik nafas ) “ Aku tahu desa ini dipenuhi dengan berbagai peristiwa sejarah. Ada ki Sobandi yang memberontak pada Belanda, ada bah Darsan yang membakar tangsi, ada perjuangan heroik Mayor Inta melawan NICA, ada derita kopral Utas yang dianiaya para separatis dari gunung. Semua tahu, desa ini melimpah dengan peristiwa sejarah. Belum remah–remahnya. Ada mak unah yang harus jadi Jugun Ian Fu, suaminya menjalani Romusha sampai sekarang tak ada kabar beritanya. Aku juga tahu sudah selayaknya didesa ini ada monumen untuk mengenang jasa – jasa mereka, para pelaku dan korban dalam sejarah. Aku tahu, aku tahu, aku tahu! “
 ( Diam  ) “ Tak perlu dikasih tahu oleh Camat atau Bupati. Aku sudah tahu. Bukankah disudut kebon dekat SD Inpres ada bukti. Ada makam ki Sobandi dan bah Darsan dengan prasasti setinggi dada. Tak lupa juga tertulis disana, ‘ Bebela lemah cai lali rabi tegang pati’ Tak perlu Camat sialan itu ikut-ikutan ngomong! Aku sudah tahu! Sebagai Kades aku tahu apa yang diperlukan desaku, sebagai Kades aku lebih suka menyalurkan dana itu untuk sesuatu yang lebih bermanfaat. Bukan onggokan semen sepertimu! “     
( Kades Eha menunjuk patung ) “ Emas – emas, kesempatan emas, kesempatan emas apanya? Aku nombok tiga juta! Itu yang dimaksud kesempatan emas? Tiga juta lebih melayang!  Tak usahlah Bupati itu bilang, APBD menyisakan anggaran untuk pembangunan patung pahlawan, tendernya nomer seanu, kepala proyeknya bapak anu, pelaksananya PT anu, bekerjasama dengan para pematung dari institut seni anu,….tai kucing! Tai kucing!
( Diam )“ Aku sih setuju – setuju saja, asalkan ada biaya dan yang mengerjakannya. Warga desaku juga tidak akan tinggal diam, mereka pasti membantu. Katanya….dana seratus dua puluh juta itu tidak cukup! Tidak tersisa! Bahkan wargaku harus ikut nombok pula. Janjinya mau diganti! Diganti – diganti matamu hah! Mana?! Tiga juta lebih, belum beras, kelapa, minyak, hutang – hutang desa pada warga, mana? Manaaa?”

MAK EOM         : ( Muncul dari sisi gelap panggung. melirik ke patung, melirik kades eha, lalu berjalan mendekati Kades Eha. setelah diam sebentar ragu-ragu Mak Eom bicara ).  “ Kelapa emak ha, Emak sudah tak punya uang buat besok, tolonglah emak. Kelapa yang dulu mau dijual kan diambil Eha, Eha bilang semuanya akan diganti. Kelapa emak Ha, tolonglah emak, bagaimana belanja emak besok? Ha kalau saja emak masih punya sesuatu, masih punya barang–barang lain yang bisa dijual mungkin emak tak akan menagih–nagih begini. Tapi emak sudah bener–bener bingung. Duit kelapa saja dulu. Biarlah untuk utang beras, jagung dan yang lainnya itu terserah Eha kapan mau dibayar. Sekarang mah emak minta uang kelapa saja dulu, uang kelapa saja Ha, Ha?”
( Mak Eom berjalan mendekati Kades Eha ) “ Malu sih malu ini teh emak menagih – nagih sama Eha, tapi mau gimana? Eha kan tahu emak sudah tak punya apa – apa lagi. Selain itu emak tak tahu harus minta tolong sama siapa lagi kalau bukan sama Eha. Eha kan lurah, mungkin Eha mah punya sedikit duit, duit kelapa saja dulu Eha, mungkin cukup buat emak dan si Tasem makan sehari dua hari. Tahu sendiri si Tasem, sudah perawan segede gitu teh belum bisa Bantu–Bantu. kerjanya cuma nyanyi dan main–main. Kalau bedaknya habis, lipennya habis baru ngadat. Duit kelapa saja dulu Ha, berapa ya? Kalau tidak salah mah lima belas rebu?”
( Mak Eom berhenti sebentar ) “ Sekali lagi, malu mah malu emak teh,  tapi harus bagaimana lagi. Duit kelapa saja dulu, duit kelapa Ha…Eha? Kenapa diam saja Eha?!
( Mak Eom maju lebih mendekat, menatap Kades Eha yang sedang memandang patung, matanya beberapa kali bolak–balik antara Kades Eha dan patung ) “ Ini emak disini Eha, ini emak bukan patung. Eha denger omongan emak kan?”
( Diam ) “ Emak sudah tidak punya uang, gula kopi habis, bedak dan lipen si Tasem habis, beras sudah tak ada sebutirpun, besok emak musti makan apa? Masa emak harus puasa? Gimana atuh Ha?
( Diam ) “ Eha kamu teh belum tuli kan? Denger…! Emak datang kemari mau menagih uang kelapa buat makan besok, karena emak sudah tidak punya apa–apa Ha…”
KADES EHA    :  “ Ayam.. ! ”  ( Menyela ) “ Emak kan masih punya ayam satu lagi “

MAK EOM         : “ Ayam?… Hah ayam..!! Emak harus menjual si borontok? Teu eling maneh teh Eha…? Masa emak harus menjual harta satu–satunya, kamu tahu Eha, si borontok teh lagi bertelor, terlalu kamu Eha! Terlalu! Daripada emak harus menjual harta yang tinggal satu-satunya lagi, lebih baik emak kelaparan! Tidak! Tidak! Semuanya boleh kamu habiskan tapi tidak si borontok. Masa harta banda emak harus habis semuanya! Masa ayam emak yang tinggal seekor itu harus ikut ludes. Kira-kira atuh Eha! Yeuh si borontok teh sedang bertelor, bakal beranak, bakal menyambung hidup emak dan si Tasem, masa harus dijual juga?! Tujuh ekor Eha, tujuh ekor! Anak si borontok enam yang sedang pamanggang, si jalu jago emak satu, tujuh ekor yang kamu ambil, ludes semua, tak seekorpun kamu bayar Eha!

KADES EHA    : “ Bukan saya yang makan “

MAK EOM         : “ Sabodo teuing! Yang jelas emak tidak sudi kalau harus menjual si borontok, biar kelaparan juga. Emak datang kesini mau nagih duit kelapa. Sini bayar! Biarin uang kelapa saja dulu!”

KADES EHA    : ( Membentak keras ) “ Emaaak…..!! “
( Telunjuknya mengacung- acung ke arah patung ) “ Bukan milik emak saja yang mampus! Semua juga sama. Hartanya, tenaganya semuanya diperas habis. Tiga juta lebih saya nombok! Beras si Adeng, minyak si Soma, jagung si Kusen, semen kang udin, semuanya ludes! Bukan hanya milik emak saja! Semua orang mak! Semua warga! Jangan perut sendiri saja yang dipikirin! “
                               ( Mak Eom terisak- isak )
( Suara Kades Eha menurun ) “ Kalau saya punya akan diganti. Kepala saya hampir pecah mak. Saya juga sudah tidak punya uang buat besok. Sini, sini…”
                               ( Kades Eha menarik tangan Mak Eom mendekati patung ) “ Pahlawan ini sangat berjasa pada tanah air, pengorbanannya tidak mungkin terbayar dengan beras, ayam, jagung, atau minyak tanah yang kita sumbangkan, tidak sebanding mak, emak harus tahu itu. “
( Mak Eom tersedu-sedu )
( Kades Eha ) “ Kita semua harus kagum pada pahlawan, walau harta benda kita ludes, kita harus tetap kagum. Siapa tahu pahlawan itu memberi berkah, siapa tahu pahlawan itu mengembalikan semua harta benda kita yang ludes dengan berlipat ganda. Mungkin saja pengorbanan kita untuk membangun patung ini ada manfaatnya buat kita. Emak jangan terus – terusan nagih uang kelapa, emak harus merelakannya. Sekarang emak pulang. “
( Kades Eha mengelus-elus punggung Emak Eom )

MAK EOM         : ( Bejalan tersendat-tersendat perlahan meninggalkan panggung ) “ Suami emak yang pertama mati dibunuh Nippon, anak emak yang cikal mati dianiaya gerombolan, suami emak yang kedua, bapaknya si Tasem mati dibunuh PKI. Sekarang ayam emak, kelapa emak ludes oleh pahlawan…semuanya habis! Ludes oleh pahlawan….ludes..! “

MUSIK

KADES EHA SETENGAH MELAMUN BERJALAN MENGELILINGI PATUNG
ULIS MASUK DIIKUTI HANSIP

ULIS                   : “ Orang – orang kabupaten sudah tiba bu, Katanya mau ketemu ibu. “

KADES EHA    : “ Atur saja sendiri, bagaimana baiknya. “

ULIS                   : “ Diatur bagaimana bu? “

KADES EHA    : ( Sedikit Membentak ) “ Atur dimana tinggalnya, makan-minumnya, beraknya, pikir sendiri! Jangan aku saja yang terus-terusan mikir! “

ULIS                   : “ Iya bu, satu lagi itu anu…”

KADES EHA    : “ Anu apa? “

ULIS                   : “ Katanya rombongan pak Bupati akan tiba sekitar jam delapan beserta wakil dari propinsi. Untuk peresmian, patung ini harus dikerbungi dulu dengan kain, Ibu juga diminta melaporkan siapa saja yang akan melakukan Tanya jawab dengan rombongan, terutama dari para pelaku sejarah yang masih ada. Selain itu….? “

KADES EHA    : “ Selain – selain itu! Ulis dengar ya! Dari mulai pondasi patung  sampai sekarang berdiri aku sudah kurang tidur, kurang makan, kurang segala-galanya. Masa urusan seperti ini musti aku yang mengerjakan!? Sekarang kamu cari kain panjang, kalau tidak ada pinjam sarung warga, suruh si Soma menyambung-nyambungnya dengan mesin jahit! Untuk wawancara tulis saja sembarangan orang yang sudah tua-tua, Beres! “

ULIS                   : “ Baik bu! “

HANSIP             : “ Bu kades. “

KADES EHA    :  “ Ada apa lagi? “

HANSIP             : “ Saya disuruh bu sekdes, katanya tamu  utusan dari kabupaten minta ayam. ”
( Diam )

HANSIP             : “ Bu kades? “

KADES EHA    : “ Tangkap ayam mak eom, tak usah ribut – ribut sama yang punyanya, kalau masih kurang cari di kandang lain jangan sampai ketahuan, kalau masih kurang juga, kamu fikir sendiri! “
ULIS & HANSIP : ( Meninggalkan panggung ) “ Kami pamit dulu.. “

KADES EHA    : “ Ya “
( Kades Eha berjalan mengelilingi patung )

MUSIK

PESURUH UTUSAN BUPATI MASUK DAN MENGHAMPIRI

U. BUPATI        : “ Wah bu Kades rupaya disini saya cari kesana-kemari. “

KADES EHA    : “ Dari tadi memang  disini. “

U. BUPATI        : “ Bu kades, itu Sekdes bagaiman sih? “

KADES EHA    : “ Memangnya kenapa Sekdes? “

U. BUPATI        : “ Saya kan minta ayam, kok malah dikasih ayam beneran, terang saja atasan saya marah. Apa Sekdes nggak mikir? Coba tolong kasih tahu sama Bu Kades. Ayam…Bukan ayam! Ayam kampung! Ayam…bukan ayam. Bu Kades ngerti kan, Ayam kampung! Itu…ayam yang dadanya montok. “

KADES EHA    : “ Oh maksudnya ayam? Ayam.. yang bukan ayam? “

U. BUPATI        : “ Iya ayam. “

KADES EHA    : “ Sekdes, sekdes!…..sekdes!! “

SEKDES           : “ Iya Bu, saya datang Bu. “
( Tergopoh-gopoh memasuki panggung diikuti Ulis dan Hansip yang membawa ayam )

KADES EHA    : “ Cepat kemari! “

SEKDES           : “ Ada apa Bu? “

KADES EHA    :   Ibu utusan Bupati minta ayam, bukan ayam. Ngerti kamu? “

SEKDES           : “ Iya ayam. “

KADES EHA    : “ Ayam kampung. “

SEKDES           : “ Iya Bu, ayam kampung. “

KADES EHA    : “ Ayam yang dadanya montok. “

SEKDES           : “ Iya Bu, ayam yang….”

KADES EHA    : “ Ngerti kamu? “

SEKDES           : “ Ngerti Bu…oh maksudnya ayam, ayam? “

KADES EHA    : “ Iya ayam! Cepat cari! “

SEKDES           : “ Iya Bu, siap Bu, Ayam Bu. “
( Sekdes pergi meninggalkan panggung )

HANSIP             : “ Ayam yang ini bagaimana Bu Kades? “

U. BUPATI        : “ Ayam yang ini disembelih saja. Nanti kan setelah makan ayam, atasan saya jadi capek dan lapar jadi ayam ini perlu disuguhkan juga. “

HANSIP             : “ Maksudnya bagaimana Bu? Setelah makan ayam, makan ayam lagi? “
U. BUPATI        : “ Ah sudah! Ayo kita sembelih ayamnya! “
( U. Bupati dan Hansip pergi meninggalkan panggung )

KADES EHA BERJALAN MENGELILINGI PATUNG, ULIS IKUT – IKUTAN BERKELILING

ULIS                   : “ Bu. “

KADES EHA    : “ Hmh…”

ULIS                   : “ Bu..”

KADES EHA    : “ Apa? “

ULIS                   : “ Itu sekdes kembali lagi. “

SEKDES MEMASUKI PANGGUNG

SEKDES           : “ Bu…si Tasem. “

KADES EHA    : “ Kenapa si Tasem. “

SEKDES           : “ Ayam. “

ULIS                   : “ Maksudnya, si Tasem… Ayam? “

KADES EHA    : “ si Tasem? Ayam? Si Tasem anaknya mak Eom? “

ULIS                   : “ Di desa kita tidak ada lagi si Tasem Bu. “

KADES EHA    : “ Apa dia mau? “

SEKDES           : “ Kelihatannya dia malah senang Bu. “
KADES EHA    : “ Ibunya tahu? “

SEKDES           : “ Mak Eom? Apa saya perlu memberi tahu mak Eom? “

KADES EHA    : “ Aku Tanya Mak Eom tahu tidak si Tasemnya jadi ayam? “

SEKDES           : “ Mak Eom tidak mengetahuinya Bu. Saya bertemu si Tasem  di rumah si Nesti. “
( Diam ) “ Bagaimana Bu? “

KADES EHA    : “ Serahkan! “

SEKDES PERGI MENINGGALKAN PANGGUNG

KADES EHA    : “ Ulis mau kemana kamu? “

ULIS                   : “ Anu Bu, mau Bantu Hansip ngurusin ayam yang satunya lagi. Ada perintah yang lainnya Bu? “

KADES EHA    : “ Tidak. “
( Kades Eha tidak menghiraukan Ulis yang pergi, ia kembali berjalan mengelilingi patung )

KADES EHA    : “ Puas? Puas kamu pahlawan? Tiga juta lebih rupaya belum cukup ya? Sekarang bukan saja minyak tanah, gula-kopi, kelapa, beras, bahkan ayam yang bukan ayampun kamu makan! Heh.. pahlawan! Jangan diam saja! Rupaya kamu suka ayam ya? Heh! Ini otakku mau kau makan juga Hah? Hah? “

MAK EOM         : ( Berlari-lari sambil teriak mencari ayam ) “ Ayam! Ayaaam! Maling ayam! Si borontok ada yang maling! Maling…! Ayamku ada yang maling..! “
( Mak Eom berhenti berlari, menatap kades eha yang sedang mematung di dekat patung )  “ Eha aku tahu ini pasti ulah anak buahmu! Eha kamu jangan pura – pura tidak tahu! Kamu tega Eha! Tegaa! Si borontok…Eha! Hartaku satu – satunya hilang! Ayam yang sedang bertelur, peenyambung hidupku Haaa! “
( Mak Eom mengguncang-guncangtubuh kades eha, menangis tersedu-sedu dan bersimpuh sambil memegang kaki Kades Eha ) “ Eha…tega sekali kamu Haa! Mak tahu si Ulis dan si Hangsip yang mengambilnya..pasti suruhan kamu! Kamu tega Ha! Tegaaa! “
( Kades Eha tak bergeming matanya berkaca-kaca, raut mukanya menyimpan amarah yang membara ) “ Si borontok Haa..ayam mak satu – satunya…teungteuingeun sia mah Eha…ludes, ludes! Paehan weh aing tehHa, paehan! Teu rido.. si borontok kembalikan Eha…! “

DARI SISI PANGGUNG MASUK TASEM SETENGAH BERLARI, TUBUHNYA HANYA TERBALUT SELEMBAR KAIN, RAMBUTNYA KUSUT, BEDAKNYA SEBAGIAN TELAH MELELEH, DIBAHU KIRINYA SELEMBAR BEHA YANG BELUM SEMPAT DIPAKAI TERGANTUNG, TASEM MEMELUK MAK EOM

TASEM              : “ Sudah mak…! Sudaah! “

MAK EOM         : “ Sudah – sudah bagaimana Tasem! Ayam kita satu-satunya diambil si Hansip…kita tidak punya apa-apa lagi Tasem …si borontok Tasem …si borontok!”

TASEM              : “Sudah Mak! Ayo kita pulang malu mak, malu! ”

MAK EOM         : “Malu-malu bagaimana? Si borontok Tasem… Emak mah teu rido Eha!”

TASEM              : “Sudah atuh Emak nih lihat Tasem punya uang, kita pulang yuk!”
( Tasem mengeluarkan dari sela-sela kainnya )“Lihat nih, uang banyak Mak, pulang yuk! Besok kita bisa beli ayam lagi, bisa ngopi, bisa beli beras lagi, pulang yuk! Malu mak, malu! “

MAK EOM BERDIRI DIPAPAH TASEM, TERSARUK-SARUK MENINGGALKAN PANGGUNG.
DARI ARAH YANG BERLAWANAN ULIS, SEKDES DAN HANSIP MASUK BERSAMAAN

SEKDES           : “Bu?”

HANSIP             : “Kenapa Mak Eom Bu Kades?”

ULIS                   : “Mungkin Mak Eom tahu si Tasemnya jadi ayam ya Bu?”

SEKDES           : “Berani sumpah Ulis, aku tidak memberitahu!”

KADES EHA    : “Diaaaam!!!”
( Semua diam )

KADES EHA    : “ Aku muak dengan segala tetek bengek ini! Dengar semuanya! Mulai sekarang aku mengundurkan diri dari jabatan Kepala desa! “


SEKDES           : “Maksudnya  Bu?”

KADES EHA    : “Aku berhenti goblok! Ber- hen-ti !!”

( Kades Eha meninggalkan panggung. Hansip, Ulis dan sekdes saling berpandangan, kemudian mereka berlari menyusul Kades, berteriak memanggil Kades Eha )


HANSIP, ULIS & SEKDES : “ Bu mau kemana bu? Urusan patung bagaimana bu?”

& & & & &Sekian & & & & &
aku tidak akan banyak bicara dulu, karena aku ingin merapikan blog ini...